cursor animated sparkly lve heart

Animated  Sparkly Love Heart

Jumat, 08 Maret 2013

Fikih Munakahat







PUTUSNYA PERKAWINAN, PEMBAGIAN DAN PENYELESAIANYA


 Disusun Oleh:
Isna Mufidayana


JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
I434/2013
=====================================================

 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang masalah
Perkawinan pada dasarnya adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia.sangat diharapkan bahwa perkawinan mereka berlangsung abadi (seumur hidup) untuk membina sustu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun dalam kenyataanya untuk membina suatu perkawinan yang bahagia tidaklah mudah, bahkan sering kehidupan perkawinan kandas di tengah jalan. Bukanya kebahagiaan atau ketenangan yang didapati didalam rumah tangga, tetapi sering terjadi adalah pertengkaran.
Dewasa Ini Masih banyak dikalangan masyarakat yang belum begitu memahami masalah yang terjadi didalam kehidupan rumah tangga, seperti halnya perceraian, mereka dengan mudahnya mengucapkan kata-kata yang bisa menyebabkan putusnya sebuah perkawinan mereka sendiri. Padahal masalah perceraian itu sendiri telah diatur didalam Al-qu’an.
Maka Dari Itu Kami selaku pemakalah mengangkat judul ini, dengan harapan makalah yang kami sajikan dapat bermanfaat dikalangan umum, dan khususnya utuk pemakalah pribadi.

B.     Rumusan Masalah
·          Hal apa saja yang menyebabkan putusnya perkawinan?
C.    Tujuan
Tujuan pemakalah mengangkat judu ini adalah:
·         Agar kita mengetahui lebih rinci tentang masalah putusnya perkawinan
·         Agar kita lebih berhati-hati dam memikirkan akibat dari putusnya pikatan perkawinan itu sendir.
·         Agar kita bisa mentela’ah isi dari makalah ini sendiri.



 =========================================================================

BAB II
PEMBAHASAN
PUTUSNYA PERKAWINAN, PEMBAGIAN DAN PENYELESAIANYA
A.    Putusnya Perkawinan
1.    Perkawinan
Perkawinan pada dasarnya adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia.sangat diharapkan bahwa perkawinan mereka berlangsung abadi (seumur hidup) untuk membina sustu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun dalam kenyataanya untuk memebina suatu perkawinan yang bahagia tidaklah mudah, bahkan sering kehidupan perkawinan kandas di tengah jalan. Bukanya kebahagiaan atau ketenangan yang didapati didalam rumah tangga, tetapi sering terjadi adalah pertengkaran.[1]
2.    Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri. Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.
Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.
B.     Pembagian Putusnya Perkawinan
Suatu perkawinan dapat diputus dan berakhir karna beberapa hal, Yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya, atau karna perceraian yang terjadi anatara keduanya, atau karna sebab-sebab lain.[2]
Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:
a.      Talak
1.      Pengertian Talak
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan.[3] Menurut istilah syara’ talak yaitu : “melepaskan ikatan perkawinan dengan lafal talak atau sesamanya”[4]
Al- Jaziry Al- Anshari mendefinisikan, Talak ialah:
“ menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatanya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”
Jadi, talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi talak raj’i.[5]
2.      Dalil Di syariatkan Talak
Dalil di syariatkan talak ada dalam al-qur’an. Terdapat pada firman Allah QS. Al-Baqarah (2):229.
Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya[. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.(      QS. Al-Baqarah:229)”[7]
3.      Macam-macam Talak
Di tinjau dari waktu dijatuhkanya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam’ sebagai berikut:
a.       Talak sunni
Yaitu talak yang dijatuhkan sesuai tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1.      Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.
2.      Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ualama syafi’iyah, perhitungan iddah wanita berhaid adalah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid atau sedang hamil, atau karna suami minta tebusan, atau ketika istri dalam haid semuanya tidak termasuk talak sunni.
3.      Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan, maupun diakhir suci kendati beberapa saat lalu datang haid.
4.      Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.[8]
b.      Talak Bid’i
Yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni, termasuk talak bid’i ialah:
1.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik dipermulaan haid atau dipertengahanya.
2.      Talak yang dijatuhkan istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci yang dimaksud.
c.       Talak la sunni walabid’i
yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i. Yaitu:
a.       Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
b.      Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid.
c.       Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.[9]
Di tinjau dari tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
a.       Talak Sharih
Yaitu talak dengan memepergunakan kata yang  jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak perlu dipahami lagi.
Contoh ucapan talak sharih : ” Engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai sekarang juga”.
b.      Talak kinayah
Yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar, seperti suami berkata kepada istrinya:
1.      Engkau sekarang telah jauh dari diriku.
2.      Selesaikan sendiri segala urusanmu.
3.      Janganlah engkau mendekati aku lagi.
4.      Saya sekarang telah sendirian dan hidup membujang.
Talak ini tergantung pada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut berniat menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu,  dan jika suami dengan kata-kata tersebut  tidak berniat menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh.[10]
Di tinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan suami merujuk kembali mantan istri, maka talak dibagi menjadi dua macam:
a.       Talak raj’i
Yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Sesuai dengan firman Allah Dalam QS.Al-Baqarah:229, yang artinya:
  Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”[11]
Talak raj’i ialah talak yang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak tidak perlu pembaruan akad nikah,  tidak memerlukan mahar, serta tidak perlu persaksian.
      Setelah terjadi talak raj’i istri wajib beriddah, hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal ini dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah kedudukan talak menjadi talak Ba’in; kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan daengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula[12].
b.      Talak Ba’in
Yaitu talak talak yang memutuskan, yaitu suami tidak memiliki hak untuk kembali pada perempuan yang diceraikanya dalam masa iddahnya.[13] Talak ba’in ada dua macam yaitu: Talak ba’in shugro dan talak ba’in kubro.
·      Talak ba’in shugra yaitu talak ba’in yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami boleh melakukan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sudah berakhir masa iddahnya. Termasuk talak ba’in shugra ialah:
1.      Talak sebelum berkumpul
2.      Talak dengan pergantiuan harta atau yang disebut khulu’.
3.       Talak karena aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya.
·       Talak ba’in kubro
Yaitu talak yang menghilangkan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Talak ba’in kubro terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam sura Al-Baqarah:230: yang artinya :
 “ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:230).
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada beberapa macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Talak dengan ucapan.
b.      Talak dengan tulisan.
c.       Talak dengan isyarat.
d.      Talak dengan utusan.[14]

4.    Rukun Dan Syarat Talak
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud,[15] sebagai berikut:
a.       Suami
·         Berakal
·         Baligh
·         Atas kemauan sendiri
b.      Istri
·      Istri masih tetap dalam perlindungan kekuasaan suami.
·      Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas perkawinan yang sah.
c.       Sighat Talak
Yaitu ucapan talak yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas), maupun kinayah (sindiran) dll.
d.      Qashdu (sengaja)
Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkan untuk talak, bukan untuk maksud lain[16]
.
b.      Fasakh
Hukum islam mewajibkan suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menganiayanya dan menimbulkan kemadharatan terhadapnya, suami dilarang menyengsarakan hak-haknya. Firman Allah dalam QS. Al-Baqrah:231:

Artinya:
“ Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Fasakh adalah[17] Seorang wanita boleh menuntut talak dari hakim karena adanya sebab-sebab sebagai berikut:
1.      Tidak Adanya nafkah bagi istri
Yaitu apa bila suami terbukti tidak mampu memberikan nafkah pokok kepada istrinya. Maka istrinya tadi boleh mengajukan tuntunan talak kepada hakim.
2.      Terjadinya cacat atau penyakit
Jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak, baik suami maupun istri yang sedemikian rupa sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya.
3.      Penderitaan yang menimpa istri
Istri menderita fisik atau batin karena tingkah suaminya, semisal suami menyakiti badan istri dan menyengsarakanya, suami pergi menghilang dan tidak diketahui keberadaanya, suami dihukum penjara atau yang lainya.
Akibat hukum fasakh atau pisah suami istri karena fasakh; hal ini tidak mengurangi bilangan talak, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak. Setelah fasakh dilakukan maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami ingin kembali kepadanya. maka harus menikah lagi dengan akad baru sedang kan iddahnya seperti talak biasa.[18]
c.       Khulu’
Menurut para fuqaha, khulu’ kadang dimaksudkan makna yang umum, yaitu. perceraian dengan disertai sejumlah harta’iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan Hukum islam memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’, sebagaimana hukum islam memberikan jalan kepada suami untuk menceraiakan istrinya dengan jalan talak.
Dasar hukum di syariatkanya talak terdapat dalam firman Allah dalam QS. Al-Baqarah:229.[19]


d.      Zhihar
Menurut bahasa arab kata zihar berasal dari kata zhahrun yang bermakna punggung, dalam kaitanya dengan hubungan suami istri, zihar ialah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami. Seperti ucapan suami kepada istrinya “ Engkau bagiku adalah seperti punggung Ibuku”.[20]
Sebagai dasar hukum adanya pengaturan zihar ialah firman Allah dalam QS. Al-Mujadillah Ayat 2-4 dan QS. Al-Ahzab Ayat 4:

Artinya:
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[21]
Apabila suami menyatakan zihar kepada istrinya maka berlakulah ketentuan sebagai   berikut:
a.       Bila suami menyesali ucapanya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan istrinya akan mendatangkan manfaat serta akan terbina hubungan yang normal dan baik, maka suami hendaknya mencabut kembali ziharnya ini serta mengembalikan istri kepengakuanya, saling memaafkan apa yang telah terjadi saling berjanji untuk memperbaiki hubungan selanjutnya dalam apa itu suami sebelum suami menggauli istrinya maka diwajibkan memebyar kaffarah zhihar berupa:
1.      Memerdekaan seorang budak sahaya yang beriman. Apabila suami tidak mampu melakukan itu, bisa diganti dengan:
2.      Berpuasa dua bulan berturut-turut. Yaitu 60 hari, tanpa diselingi berbuka satu hari sekalipun dalam 60 hari. Apa bila suami tidak mampu melakukan itu, dapat diganti dengan:
3.      Memberikan makan secukupnya kepada 60 orang miskin.
b.      Bila suami berpendapat bila memperbaiki hubungan suami istri tidak akan memungkinkan maka haendaklah suami menjatuhkan talak kepada istrinya, agar dengan demikian tidak menyiksa istri lebih lama lagi. Kedudkan cerai dalam kasuszhihar adalah termasuk ba’in, artinya suami tidak berhak merujuk kembali bekas istrinya, mereka hanya dapat kembali menjadi suami istri dengan akad perkawinan yang baru.
c.       Bila setelah suami menzhiharnya merasa tidak aman dari perbuatan suaminya, hendaknya istri mengajukan hal itu kepada hakim, lalu hakim memisahkan tempat suamidengan istrinya sementara menunggu penyelesaian kasus zhihar ini,
d.      Kalau ternyata suami tidak mencabut kembali zhiharnya dan tidak mau menceraikan istrinya, berarti ada unsur kesengajaan suami menelantarkan istrinya dan melanggar hukum Allah,mereka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari setelah zhihar diucapkan, maka hakim menceraikan keduanya, dan menjadi ba’inlah perceraian mereka.[22]
e.       Li’an
Kata li’an terambil dari kata Al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat dari kutukan. Disebut demikian karena suami saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan dari hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya.
Menurut istilah hukum islam li’an adala sumpah yang diucapkan oleh seorang suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina. Dengan empat kali kesaksian bahwa dia termasuk orang yang bener dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa dia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhanya itu.
Dasar hukum pengaturan li’an terdapat dalam firman Allah QS. An-Nur:6-7:

Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.[23]
Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat menyangkal dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhanya, dan pada sumpah kesaksian yang kelima disertai dengan pernyataan bahwa ia bersedia menerima marah dari Allah jika suami benar dalam tuduhanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat An-Nuur Ayat 8-9:


Artinya :
     “Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.”[24]
Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah perceraian antara suami istri tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.

f.       Ila’
Kata ila’ menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-ykli-laan” sewazan dengan a’tha-yu’thi-itha’an, yang artinya sumpah. Menurut istilah hukum islam, Ila’  ialah sumpah suami dengan menyebut Nama Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.[25]

Beberapa contoh ila’ adalah ucapan suami kepada istri, sebagai berikut:
a.       Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku.
b.      Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan.
c.       Demi Allah saya tidak akan mendekati istriku selamanya.
Dasar hukum pengaturan ila’ terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 226-227:

Artinya:
“ Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dalam Hal ini jika suami  berbalik kepada istrinya diwajibkan membayar kaffarah sumpah karena telah menggunakan nama Allah untuk keperluan dirinya. Kaffarah sumpah itu berupa:
a.       Menjamu atau menjamin makan 10 orang miskin.
b.      Memberi pakaian kepada 10 orang miskin, atau
c.       Memerdekakan seorang budak.[26]
Kalau tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal tersebut maka kaffarahnya ialah berpuasa selama tiga hari berturut-turut, berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah ayat 89:
  Artinya:
“ Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”[27]
Bagi istri yang diila’ oleh suaminya, pengucilan oleh suaminya selama empat bulan itu,itu menjadi saran pendidikan baginya. Memberikan kesempatan memikirkan sikap non simpatiknya yang telah lalu, menyadari kekuranganya dalam melayani suaminya selama ini, mencari sebab musabab suami sampai bersikap benci kepadanya menjadi obat yang mujarab untuk memeperbaiki sikap dimasa-masa selanjutnya.
Setelah berlalu masa empat bulan terhitung sejak suami menyatakan sumpah ila’ itu ternyata suami tidak mencabut kembali sumpahnya, berarti selama itu tidak perubahan kearah perbaikan, maka suami menghendaki perceraian. Dengan berlalunya masa empat bulan tersebut terjadilah perceraian antara keduanya, baik dengan jalan suami menjatuhkan talak terhadap istrinya. Atau istri mengadukan halnya kepada hakim, lalu hakim menetapkan terjadinya perceraian itu.
g.      Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.



C.    Penyelesaian Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
1.       Cara-cara Putusnya Perkawinan
Di dalam Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti yang tercantum dalam pasal 38 sebagai berikut:
a.       Karena kematian salah satu pihak
Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan karena putusnya perkawinan di sini bukan karena kehendak salah satu pihak, tetapi karena kehendak Tuhan.
b.      Perceraian
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.
2.      Alasan-alasan Perceraian
Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal 19 P.P. No. 9/1975, alasa menggugat perceraian sebagai berikut:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan pihak lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f.       Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga.


3.      Tatacara Perceraian
Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian ada 2 macam yaitu:
a.       Cerai talak
Tatacara tentang seorang suami yang hendak mentalak isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:
Ø  Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam  yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.
Ø  Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian  setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.
Ø  Setelah Pengadilan mendapat penjelasan   dari suami-isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
Ø  Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.
Ø  Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn  tentang terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
b.      Cerai Gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.
Tata cara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
1.      Pengajuan gugatan
a)      Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya  kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat.
Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
b)      alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat penggugat.
2.      Pemanggilan
a)      Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.
b)      Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).
c)      Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.
d)     Pemanggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
e)      Apabila tergugat berdiam di luar negeri pemanggilannya melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
3.      Persidangan
a)      Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak dimasukkannua gugatan perceraian itu.
b)      Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.
c)      Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
d)     Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
4.      Perdamaian
a)      Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan.
b)       Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
c)      Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain yang dianggap perlu.



5.      Putusan
a)      Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang terbuka.
b)      Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditentukan.
c)      Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.
========================================================












BAB III
PENUTUP
a.      Kesimpulan
Suatu perkawinan dapat diputus dan berakhir karna beberapa hal, Yaitu karena terjadinya talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya, atau karna perceraian yang terjadi anatara keduanya, atau karna sebab-sebab lain.
Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:
1.      Talak.
2.      Fasakh.
3.      Khulu’.
4.      Zhihar.
5.      Li’an.
6.      Ila’.
Talak yaitu menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalamhal talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi talak raj’i.
Fasakh yaitu talak yang dijatuhkan oleh Hakim.
Khulu’ yaitu perceraian dengan disertai sejumlah harta’iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
Zhihar  yaitu    ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami. Seperti ucapan suami kepada istrinya “ Engkau bagiku adalah seperti punggung Ibuku”.
Li’an yaitu sumpah yang diucapkan oleh seorang suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina. Dengan empat kali kesaksian bahwa dia termasuk orang yang bener dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa dia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhanya itu.
Ila’ yaitu  sumpah suami dengan menyebut Nama Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.


a.      Kritik dan saran
Jika terdapat kesalahan dalam makalah kami baik Dari segi penulisan maupun penjelasan, Kritik dan saran Kami harapkan  selaku pemakalah, tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa kesalahan.
=============================================================
 






























[1]  Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah, hlm. 221
[2] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm. 191
[3] Op.Cit. Hlm. 221
[4]  Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat, Hlm.255
[5] Op Cit, hlm. 191
[6] Lihat Al-Qur’an, QS. Al- Baqarah (2) :229
[7] Op. Cit, hlm.156
[8] Ibid , hlm.193
[9] Ibid. hal.193
[10] Op. Cit, hlm.195
[11] Lihat QS. Al-Baqarah:229
[12] Op.Cit. hlm. 198
[13] Alin Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, hlm. 337
[14]  Op. Cit, hlm.200
[15]  Ibid. Hlm.201
[16]  Ibid.
[17] Op.Cit. hlm.232
[18] Lihat, Abdul Rahman Ghazali. Hlm.272
[19] Lihat hlm,3
[20] Abdul Rahman Ghazali, Op.Cit . Hlm 228
[21] Lihat QS. AL-Mujadillah Ayat 2-4
[22] Ibid, hlm.233
[23] Lihat, QS. An-Nuur:6-7
[24] Lihat QS. An-Nuur: 8-9
[25] Op.Cit, Hlm. 234
[26] Op.Cit,  hlm.236
[27]Lihat QS. Al- Ma’idah:89