PUTUSNYA
PERKAWINAN, PEMBAGIAN DAN PENYELESAIANYA
Disusun Oleh:
Isna Mufidayana
JURUSAN
JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
I434/2013
=====================================================
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
masalah
Perkawinan
pada dasarnya adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang
bahagia.sangat diharapkan bahwa perkawinan mereka berlangsung abadi (seumur
hidup) untuk membina sustu keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Namun dalam kenyataanya untuk membina suatu perkawinan
yang bahagia tidaklah mudah, bahkan sering kehidupan perkawinan kandas di
tengah jalan. Bukanya kebahagiaan atau ketenangan yang didapati didalam rumah
tangga, tetapi sering terjadi adalah pertengkaran.
Dewasa
Ini Masih banyak dikalangan masyarakat yang belum begitu memahami masalah yang
terjadi didalam kehidupan rumah tangga, seperti halnya perceraian, mereka
dengan mudahnya mengucapkan kata-kata yang bisa menyebabkan putusnya sebuah
perkawinan mereka sendiri. Padahal masalah perceraian itu sendiri telah diatur
didalam Al-qu’an.
Maka
Dari Itu Kami selaku pemakalah mengangkat judul ini, dengan harapan makalah
yang kami sajikan dapat bermanfaat dikalangan umum, dan khususnya utuk
pemakalah pribadi.
B.
Rumusan
Masalah
·
Hal apa saja yang menyebabkan putusnya
perkawinan?
C.
Tujuan
Tujuan
pemakalah mengangkat judu ini adalah:
·
Agar kita
mengetahui lebih rinci tentang masalah putusnya perkawinan
·
Agar kita lebih berhati-hati
dam memikirkan akibat dari putusnya pikatan perkawinan itu sendir.
·
Agar kita bisa
mentela’ah isi dari makalah ini sendiri.
=========================================================================
BAB II
PEMBAHASAN
PUTUSNYA PERKAWINAN, PEMBAGIAN DAN
PENYELESAIANYA
A. Putusnya
Perkawinan
1. Perkawinan
Perkawinan pada dasarnya adalah ikatan lahir batin
antara pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu
keluarga atau rumah tangga yang bahagia.sangat diharapkan bahwa perkawinan
mereka berlangsung abadi (seumur hidup) untuk membina sustu keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Namun dalam
kenyataanya untuk memebina suatu perkawinan yang bahagia tidaklah mudah, bahkan
sering kehidupan perkawinan kandas di tengah jalan. Bukanya kebahagiaan atau
ketenangan yang didapati didalam rumah tangga, tetapi sering terjadi adalah
pertengkaran.[1]
2. Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak”
atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan
“furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai
oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara
suami-isteri. Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni
arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam
bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim,
maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena
meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri.
Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami. Karena salah satu bentuk dari perceraian antara
suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya
istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai
terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh
dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan
tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang
bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.
B.
Pembagian
Putusnya Perkawinan
Suatu
perkawinan dapat diputus dan berakhir karna beberapa hal, Yaitu karena
terjadinya talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya, atau karna perceraian
yang terjadi anatara keduanya, atau karna sebab-sebab lain.[2]
Hal-hal
yang menyebabkan putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:
a.
Talak
1. Pengertian
Talak
Talak terambil dari
kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya melepaskan atau meninggalkan.[3]
Menurut istilah syara’ talak yaitu : “melepaskan ikatan perkawinan dengan lafal
talak atau sesamanya”[4]
Al- Jaziry Al- Anshari mendefinisikan,
Talak ialah:
“ menghilangkan ikatan perkawinan atau
mengurangi pelepasan ikatanya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”
Jadi, talak itu ialah
menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan
itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak
ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya
hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi
hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi
hilang hak talak itu, yaitu terjadi talak raj’i.[5]
2. Dalil
Di syariatkan Talak
Dalil di syariatkan talak ada dalam
al-qur’an. Terdapat pada firman Allah QS. Al-Baqarah (2):229.
Artinya:
“Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya[. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka itulah orang-orang yang zalim.( QS.
Al-Baqarah:229)”[7]
3. Macam-macam Talak
Di tinjau dari waktu
dijatuhkanya talak itu, maka talak dibagi menjadi tiga macam’ sebagai berikut:
a. Talak sunni
Yaitu talak yang
dijatuhkan sesuai tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat
syarat:
1. Istri yang ditalak sudah pernah digauli,
bila talak dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk
talak sunni.
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci
setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ualama syafi’iyah,
perhitungan iddah wanita berhaid adalah tiga kali suci, bukan tiga kali haid.
Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid
atau sedang hamil, atau karna suami minta tebusan, atau ketika istri dalam haid
semuanya tidak termasuk talak sunni.
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam
keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan, maupun diakhir suci kendati
beberapa saat lalu datang haid.
4. Suami tidak pernah menggauli istri
selama masa suci dimana talak dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami
ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk
talak sunni.[8]
b. Talak Bid’i
Yaitu talak yang
dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat
talak sunni, termasuk talak bid’i ialah:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
pada waktu haid, baik dipermulaan haid atau dipertengahanya.
2. Talak yang dijatuhkan istri dalam
keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci yang
dimaksud.
c. Talak la sunni walabid’i
yaitu talak yang tidak
termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bid’i. Yaitu:
a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah digauli.
b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri
yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid.
Di
tinjau dari tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan
talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
a. Talak Sharih
Yaitu talak dengan
memepergunakan kata yang jelas dan
tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan,
tidak perlu dipahami lagi.
Contoh
ucapan talak sharih : ” Engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya cerai
sekarang juga”.
b. Talak kinayah
Yaitu talak dengan
menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar, seperti suami berkata kepada
istrinya:
1. Engkau sekarang telah jauh dari diriku.
2. Selesaikan sendiri segala urusanmu.
3. Janganlah engkau mendekati aku lagi.
4. Saya sekarang telah sendirian dan hidup
membujang.
Talak
ini tergantung pada niat suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut
berniat menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak berniat menjatuhkan talak maka talak
tidak jatuh.[10]
Di
tinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan suami merujuk kembali mantan
istri, maka talak dibagi menjadi dua macam:
a. Talak raj’i
Yaitu
talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli,
talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Sesuai dengan
firman Allah Dalam QS.Al-Baqarah:229, yang artinya:
“ Talak
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”[11]
Talak raj’i ialah talak
yang untuk kembalinya bekas istri kepada bekas suaminya tidak tidak perlu
pembaruan akad nikah, tidak memerlukan
mahar, serta tidak perlu persaksian.
Setelah
terjadi talak raj’i istri wajib beriddah, hanya bila kemudian suami hendak
kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal ini dapat
dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas
suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya
masa iddah kedudukan talak menjadi talak Ba’in; kemudian jika sesudah
berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib
dilakukan daengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula[12].
b. Talak Ba’in
Yaitu talak talak yang memutuskan, yaitu
suami tidak memiliki hak untuk kembali pada perempuan yang diceraikanya dalam
masa iddahnya.[13]
Talak ba’in ada dua macam yaitu: Talak ba’in shugro dan talak ba’in kubro.
·
Talak
ba’in shugra yaitu talak ba’in yang menghilangkan kepemilikan bekas suami
terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin
kembali dengan bekas istri. Artinya bekas suami boleh melakukan akad nikah baru
dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sudah berakhir masa
iddahnya. Termasuk talak ba’in shugra ialah:
1. Talak sebelum berkumpul
2. Talak dengan pergantiuan harta atau yang
disebut khulu’.
3. Talak karena aib (cacat badan), karena salah
seorang dipenjara, talak karena penganiayaan, atau yang semacamnya.
·
Talak
ba’in kubro
Yaitu talak yang
menghilangkan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan
bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas
istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu
serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Talak
ba’in kubro terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam sura Al-Baqarah:230: yang artinya :
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (QS.
Al-Baqarah:230).
Ditinjau
dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya, talak ada beberapa
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Talak dengan ucapan.
b. Talak dengan tulisan.
c. Talak dengan isyarat.
4. Rukun Dan Syarat Talak
Rukun talak adalah unsur pokok yang
harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur
yang dimaksud,[15]
sebagai berikut:
a. Suami
·
Berakal
·
Baligh
·
Atas
kemauan sendiri
b. Istri
·
Istri
masih tetap dalam perlindungan kekuasaan suami.
·
Kedudukan
istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas perkawinan yang sah.
c. Sighat Talak
Yaitu
ucapan talak yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan
talak, baik itu sharih (jelas), maupun kinayah (sindiran) dll.
d. Qashdu (sengaja)
Artinya bahwa dengan
ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkan untuk talak, bukan
untuk maksud lain[16]
.
b.
Fasakh
Hukum islam mewajibkan
suami untuk menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan
sebaik-baiknya, tidak boleh menganiayanya dan menimbulkan kemadharatan
terhadapnya, suami dilarang menyengsarakan hak-haknya. Firman Allah dalam QS.
Al-Baqrah:231:
Artinya:
“
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka[145].
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Fasakh
adalah[17]
Seorang wanita boleh menuntut talak dari hakim karena adanya sebab-sebab
sebagai berikut:
1. Tidak Adanya nafkah bagi istri
Yaitu apa bila suami terbukti tidak
mampu memberikan nafkah pokok kepada istrinya. Maka istrinya tadi boleh
mengajukan tuntunan talak kepada hakim.
2. Terjadinya cacat atau penyakit
Jika terjadi cacat atau
penyakit pada salah satu pihak, baik suami maupun istri yang sedemikian rupa
sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya.
3. Penderitaan yang menimpa istri
Istri menderita fisik
atau batin karena tingkah suaminya, semisal suami menyakiti badan istri dan
menyengsarakanya, suami pergi menghilang dan tidak diketahui keberadaanya,
suami dihukum penjara atau yang lainya.
Akibat
hukum fasakh atau pisah suami istri karena fasakh; hal ini tidak mengurangi
bilangan talak, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru
lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak. Setelah fasakh
dilakukan maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau suami ingin kembali
kepadanya. maka harus menikah lagi dengan akad baru sedang kan iddahnya seperti
talak biasa.[18]
c.
Khulu’
Menurut
para fuqaha, khulu’ kadang dimaksudkan makna yang umum, yaitu. perceraian
dengan disertai sejumlah harta’iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami
untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan Hukum islam memberi
jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’,
sebagaimana hukum islam memberikan jalan kepada suami untuk menceraiakan
istrinya dengan jalan talak.
d.
Zhihar
Menurut
bahasa arab kata zihar berasal dari kata zhahrun yang bermakna punggung, dalam
kaitanya dengan hubungan suami istri, zihar ialah ucapan suami kepada istrinya
yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami. Seperti
ucapan suami kepada istrinya “ Engkau bagiku adalah seperti punggung Ibuku”.[20]
Sebagai
dasar hukum adanya pengaturan zihar ialah firman Allah dalam QS. Al-Mujadillah
Ayat 2-4 dan QS. Al-Ahzab Ayat 4:
Artinya:
“ Orang-orang yang menzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang
sangat pedih. Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[21]
Apabila
suami menyatakan zihar kepada istrinya maka berlakulah ketentuan sebagai berikut:
a. Bila suami
menyesali ucapanya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan istrinya akan
mendatangkan manfaat serta akan terbina hubungan yang normal dan baik, maka
suami hendaknya mencabut kembali ziharnya ini serta mengembalikan istri
kepengakuanya, saling memaafkan apa yang telah terjadi saling berjanji untuk
memperbaiki hubungan selanjutnya dalam apa itu suami sebelum suami menggauli
istrinya maka diwajibkan memebyar kaffarah zhihar berupa:
1.
Memerdekaan seorang budak sahaya
yang beriman. Apabila suami tidak mampu melakukan itu, bisa diganti dengan:
2.
Berpuasa dua bulan berturut-turut.
Yaitu 60 hari, tanpa diselingi berbuka satu hari sekalipun dalam 60 hari. Apa
bila suami tidak mampu melakukan itu, dapat diganti dengan:
3.
Memberikan makan secukupnya kepada
60 orang miskin.
b. Bila suami
berpendapat bila memperbaiki hubungan suami istri tidak akan memungkinkan maka
haendaklah suami menjatuhkan talak kepada istrinya, agar dengan demikian tidak
menyiksa istri lebih lama lagi. Kedudkan cerai dalam kasuszhihar adalah
termasuk ba’in, artinya suami tidak berhak merujuk kembali bekas istrinya,
mereka hanya dapat kembali menjadi suami istri dengan akad perkawinan yang
baru.
c. Bila setelah
suami menzhiharnya merasa tidak aman dari perbuatan suaminya, hendaknya istri
mengajukan hal itu kepada hakim, lalu hakim memisahkan tempat suamidengan
istrinya sementara menunggu penyelesaian kasus zhihar ini,
d. Kalau
ternyata suami tidak mencabut kembali zhiharnya dan tidak mau menceraikan
istrinya, berarti ada unsur kesengajaan suami menelantarkan istrinya dan
melanggar hukum Allah,mereka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari
setelah zhihar diucapkan, maka hakim menceraikan keduanya, dan menjadi ba’inlah
perceraian mereka.[22]
e.
Li’an
Kata
li’an terambil dari kata Al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat dari kutukan.
Disebut demikian karena suami saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan
dari hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya.
Menurut
istilah hukum islam li’an adala sumpah yang diucapkan oleh seorang suami ketika
ia menuduh istrinya berbuat zina. Dengan empat kali kesaksian bahwa dia
termasuk orang yang bener dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian
kelima disertai persyaratan bahwa dia bersedia menerima laknat Allah jika ia
berdusta dalam tuduhanya itu.
Dasar
hukum pengaturan li’an terdapat dalam firman Allah QS. An-Nur:6-7:
Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh
isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri
mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan
nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta.[23]
Terhadap
tuduhan suami itu, istri dapat menyangkal dengan sumpah kesaksian sebanyak
empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhanya, dan pada sumpah kesaksian
yang kelima disertai dengan pernyataan bahwa ia bersedia menerima marah dari
Allah jika suami benar dalam tuduhanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
dalam Surat An-Nuur Ayat 8-9:
Artinya
:
“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta. dan (sumpah)
yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang
yang benar.”[24]
Dengan
terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah perceraian antara suami istri
tersebut dan diantara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk
selama-lamanya.
f.
Ila’
Kata
ila’ menurut bahasa merupakan masdar dari kata “ala-ykli-laan” sewazan dengan
a’tha-yu’thi-itha’an, yang artinya sumpah. Menurut istilah hukum islam,
Ila’ ialah sumpah suami dengan menyebut
Nama Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati
istrinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi ucapan selamanya, atau dibatasi
empat bulan atau lebih.[25]
Beberapa
contoh ila’ adalah ucapan suami kepada istri, sebagai berikut:
a. Demi Allah, saya tidak akan menggauli
istriku.
b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan
mencampuri istriku selama lima bulan.
c. Demi Allah saya tidak akan mendekati
istriku selamanya.
Dasar hukum pengaturan
ila’ terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 226-227:
Artinya:
“
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh
empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber'azam
(bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Dalam Hal ini jika
suami berbalik kepada istrinya
diwajibkan membayar kaffarah sumpah karena telah menggunakan nama Allah untuk
keperluan dirinya. Kaffarah sumpah itu berupa:
a. Menjamu atau menjamin makan 10 orang
miskin.
b. Memberi pakaian kepada 10 orang miskin,
atau
Kalau
tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal tersebut maka kaffarahnya ialah
berpuasa selama tiga hari berturut-turut, berdasarkan firman Allah surat
Al-Maidah ayat 89:
Artinya:
“
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”[27]
Bagi
istri yang diila’ oleh suaminya, pengucilan oleh suaminya selama empat bulan
itu,itu menjadi saran pendidikan baginya. Memberikan kesempatan memikirkan
sikap non simpatiknya yang telah lalu, menyadari kekuranganya dalam melayani
suaminya selama ini, mencari sebab musabab suami sampai bersikap benci
kepadanya menjadi obat yang mujarab untuk memeperbaiki sikap dimasa-masa
selanjutnya.
Setelah berlalu masa
empat bulan terhitung sejak suami menyatakan sumpah ila’ itu ternyata suami
tidak mencabut kembali sumpahnya, berarti selama itu tidak perubahan kearah
perbaikan, maka suami menghendaki perceraian. Dengan berlalunya masa empat
bulan tersebut terjadilah perceraian antara keduanya, baik dengan jalan suami
menjatuhkan talak terhadap istrinya. Atau istri mengadukan halnya kepada hakim,
lalu hakim menetapkan terjadinya perceraian itu.
g. Kematian
Putusnya
perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan
kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan
yang meninggal.
Walaupun
dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun
bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru
dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya
empat bulan sepuluh hari.
C.
Penyelesaian
Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
1.
Cara-cara Putusnya Perkawinan
Di
dalam Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara
perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut
secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan
seperti yang tercantum dalam pasal 38 sebagai berikut:
a. Karena
kematian salah satu pihak
Putusnya hubungan perkawinan karena
kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan karena putusnya
perkawinan di sini bukan karena kehendak salah satu pihak, tetapi karena
kehendak Tuhan.
b. Perceraian
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.
2.
Alasan-alasan
Perceraian
Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta
penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal 19 P.P. No. 9/1975, alasa
menggugat perceraian sebagai berikut:
a. Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan pihak
lain.
e. Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara
suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga.
3.
Tatacara
Perceraian
Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang
Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian
ada 2 macam yaitu:
a. Cerai
talak
Tatacara tentang seorang suami yang
hendak mentalak isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada
dasarnya dalah sebagai berikut:
Ø Seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan
surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan
bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta
meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini
ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis dan yang
diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat permohonan tetapi surat
pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan
membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.
Ø Setelah
pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30
hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan
bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.
Ø Setelah
Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternayat memang terdapat
alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara
suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun
lagi dalam rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang
untuk menyaksikan perceraian itu.
Ø Sidang
Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan
untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan
tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu
di dalam sidang tersebut.
Ø Kemudian
Ketua Pengadilan memberi surat keterangn tentang terjadinya perceraian tersebut, dan
surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat
perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian. Perceraian itu
terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang
Pengadilan.
b. Cerai
Gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang
disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada
Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.
Tata cara perceraian ini diatur dalam
P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
1. Pengajuan
gugatan
a) Gugatan
perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat tergugat.
Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak
jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, begitu
juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
b) alasan
salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa
ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat penggugat.
2. Pemanggilan
a) Pemanggilan
harus disampaikan kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai,
panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya.
Pemanggilan ini dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.
b) Yang
melakukan pemanggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas
yang ditunjuk (Pengadilan Agama).
c) Panggilan
tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para
pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan
kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.
d) Pemanggilan
bagi tergugat yang tempat kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat
kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan melalui satu atau beberapa suratkabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan dua kali
dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
e) Apabila
tergugat berdiam di luar negeri pemanggilannya melalui Perwakilan Republik
Indonesia setempat.
3. Persidangan
a) Persidangan
untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan
selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan.
Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri,
persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak
dimasukkannua gugatan perceraian itu.
b) Para
pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama
sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta
perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.
c) Apabila
tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat
diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau
tidak beralasan.
d) Pemeriksaan
perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
4. Perdamaian
a)
Pengadilan harus
berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum maupun selama
persidangan sebelum gugatan diputuskan.
b)
Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh
diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum
perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
c)
Dalam usaha
mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang
lain atau badan lain yang dianggap perlu.
5. Putusan
a) Pengucapan
putusan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang terbuka.
b) Putusan
dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan
pada alasan yang telah ditentukan.
c) Perceraian
dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang
yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam perceraian
dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.
========================================================
========================================================
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Suatu
perkawinan dapat diputus dan berakhir karna beberapa hal, Yaitu karena
terjadinya talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya, atau karna perceraian
yang terjadi anatara keduanya, atau karna sebab-sebab lain.
Hal-hal
yang menyebabkan putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Talak.
2. Fasakh.
3. Khulu’.
4. Zhihar.
5. Li’an.
6. Ila’.
Talak yaitu menghilangkan
ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak
lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalamhal talak ba’in. Sedangkan arti
mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu,
yaitu terjadi talak raj’i.
Fasakh yaitu talak yang dijatuhkan oleh Hakim.
Khulu’
yaitu perceraian dengan disertai sejumlah harta’iwadh yang diberikan oleh istri
kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
Zhihar yaitu
ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri
dengan punggung ibu suami. Seperti ucapan suami kepada istrinya “ Engkau bagiku
adalah seperti punggung Ibuku”.
Li’an
yaitu sumpah yang diucapkan oleh seorang suami ketika ia menuduh istrinya
berbuat zina. Dengan empat kali kesaksian bahwa dia termasuk orang yang bener
dalam tuduhanya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan
bahwa dia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhanya itu.
Ila’
yaitu sumpah suami dengan menyebut Nama
Allah atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya
itu, baik secara mutlak atau dibatasi ucapan selamanya, atau dibatasi empat
bulan atau lebih.
a.
Kritik dan saran
Jika
terdapat kesalahan dalam makalah kami baik Dari segi penulisan maupun
penjelasan, Kritik dan saran Kami harapkan
selaku pemakalah, tiada gading yang tak retak, tiada manusia tanpa
kesalahan.
=============================================================
[1] Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah, hlm. 221
[2] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm. 191
[3] Op.Cit. Hlm. 221
[4]
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh
Munakahat, Hlm.255
[5] Op Cit, hlm. 191
[6] Lihat Al-Qur’an, QS. Al- Baqarah (2) :229
[7] Op. Cit, hlm.156
[8] Ibid , hlm.193
[9] Ibid. hal.193
[11] Lihat QS. Al-Baqarah:229
[12] Op.Cit. hlm. 198
[13] Alin Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, hlm. 337
[18] Lihat, Abdul Rahman Ghazali.
Hlm.272
[20] Abdul Rahman Ghazali, Op.Cit . Hlm 228
[23] Lihat, QS. An-Nuur:6-7
[24] Lihat QS. An-Nuur: 8-9
[25] Op.Cit, Hlm. 234
[27]Lihat QS. Al- Ma’idah:89